Galuh
Lampung
Barat, 1990
Suara
bising mesin bis yang sudah berusia tua perlahan-lahan menghilang. Kini yang
tersisa hanya debu-debu jalanan yang menyesakkan nafas. Galuh berkali-kali
berdecak kagum melihat perkampungan kecil yang ada di depannya. Ia membayangkan
musim hujan yang akan mengusir debu jalanan dan menambah asri perkampungan
kecil tersebut.
Sementara
ibunya hanya termenung, matanya menerawang jauh. Ariana mengingat kejadian
sebulan silam. Ketika mata mereka bertemu buru ia buru-buru mengahapus air mata
yang mengalir begitu saja. Galuh tidak akan diam saja jika mengetahui yang
sebenarnya. Meski berat Ariana harus menguburnya dalam-dalam.
Perlahan-lahan
mereka mulai membangun hidup baru. Dan lambat laun Galuh mengetahui apa yang
selama ini disembunyikan oleh ibunya. Dugaannya benar, ayahnya tak meninggal
karena kecelakaan melainkan murni pembunuhan. Tentu saja ia tak akan tinggal
diam. Meski kini ia putus sekolah ia sama sekali tak lupa tentang apa yang guru
ajarkan “ Ungkapkan kebenaran”. Galuh bertekad membawa kasus ayahnya ke
pengadilan. Diam-diam ia mengumpulkan bukti-bukti tanpa sepengetahuan ibunya.
Setelah
merasa bukti-bukti sudah lengkap akhirnya Galuh mengirimkannya ke pengadilan.
Namun, ia tak menerima tanggapan apapun. Ia sempat merasa putus asa dan mencoba
untuk berhenti meminta keadilan atas kasus yang menimpa ayahnya. Terlintas
jelas di ingatan Galuh ayahnya menghilang selama satu hari dan ditemukan dalam
keadaan tak bernyawa setelah menabrak tol Cikampek.
Ia
mulai bekerja menjadi kuli di pasar-pasar demi mendapatkan ongkos ke Jakarta.
Selama menjadi seorang kuli, Galuh berteman dengan bapak tua sesama kuli di
pasar. Namanya Maksum, beliau selalu menceritakan betapa ironinya negeri ini,
korupsi dan kemiskinan dimana-mana. Tekad Galuh menjadi semakin kuat untuk
mengungkapkan kebenaran.
Hingga
tibalah harinya ia berangkat. Ariana memberikan sepucuk surat yang berisi
sebuah ancaman untuknya.
Jangan menjadi orang yang naif.
Di negeri ini hanya yang kuat yang bertahan hidup. Jangan seperti ayahmu, heh
asisten yang tidak tahu diri. Gajinya adalah uang korupsiku tapi malah
melaporkanku. Untuk membiarkan kalian tetap hidup aku hanya menyuruhnya
menghilang, bukan mati bunuh diri. Bodoh!
Tetesan air bening keluar dari mata Galuh, diremasnya kertas
tersebut dan mengusap sendiri air matanya. “ Ibu, jangan pernah merasa
bersalah. Apapun yang akan terjadi itu adalah pilihanku sendiri”, ucap Galuh
untuk meyakinkan ibunya. Mereka saling berpelukan seakan tidak akan pernah
saling bertemu lagi.
Sekuat
tenaga Galuh berjuang untuk keadilan ayahnya. Meski ia harus tinggal di
kos-kosan kumuh namun ia tetap semangat. Dan berkat usahanya setidaknya ia
mendapatkan setitik keadilan. Bos ayahnya tidak diizinkan menjadi hakim karena
terlibat kasus bunuh diri asistennya, yang tak lain adalah ayah Galuh. Karena
polisi menemukan bubuk hitam karbon monoksida di mobil ayah Galuh. Dan seseoran
melapor bahwa si bos telah membeli karbon monoksida sehari sebelum kejadian
tersebut.
Dua
bulan berlalu, Ariana tak mendengar kabar apapun dari putrinya. Ia hanya
menerima secari kertas dari Galuh.
Ibuku Ariana
tersayang, si kejam itu jangan di percaya. Ayah adalah orang yang tahu agama.
Mana mungkin bunuh diri yang jelas-jelas dilarang agama. Ibu kupastikan
penjahat itu membusuk di jeruji besi walau aku harus dikirim untuk menemani
ayah.
Putrimu,
Galuh Pramanti
Seminggu setelah mendapat
kiriman dari Galuh. Ariana mendapat surat dari Kepolisian Jakarta. Bahwa
pembunuh suaminya telah di hukum seberat-beratnya. Sementara putrinya menjadi
korban tabrak lari dan nyawanya tak tertolong. Ia tak sedih ataupun menangis
karena putrinya pasti lebih bahagia di alam sana yang tidak ada kebusukan.
Satu surat lagi,
Bukankah sudah
kuperingatkan untuk menertibkan putrimu!