Senin, 12 Oktober 2015

Cerpen "Galuh"

Galuh
                Lampung Barat, 1990
                Suara bising mesin bis yang sudah berusia tua perlahan-lahan menghilang. Kini yang tersisa hanya debu-debu jalanan yang menyesakkan nafas. Galuh berkali-kali berdecak kagum melihat perkampungan kecil yang ada di depannya. Ia membayangkan musim hujan yang akan mengusir debu jalanan dan menambah asri perkampungan kecil tersebut.
                Sementara ibunya hanya termenung, matanya menerawang jauh. Ariana mengingat kejadian sebulan silam. Ketika mata mereka bertemu buru ia buru-buru mengahapus air mata yang mengalir begitu saja. Galuh tidak akan diam saja jika mengetahui yang sebenarnya. Meski berat Ariana harus menguburnya dalam-dalam.
                Perlahan-lahan mereka mulai membangun hidup baru. Dan lambat laun Galuh mengetahui apa yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. Dugaannya benar, ayahnya tak meninggal karena kecelakaan melainkan murni pembunuhan. Tentu saja ia tak akan tinggal diam. Meski kini ia putus sekolah ia sama sekali tak lupa tentang apa yang guru ajarkan “ Ungkapkan kebenaran”. Galuh bertekad membawa kasus ayahnya ke pengadilan. Diam-diam ia mengumpulkan bukti-bukti tanpa sepengetahuan ibunya.
                Setelah merasa bukti-bukti sudah lengkap akhirnya Galuh mengirimkannya ke pengadilan. Namun, ia tak menerima tanggapan apapun. Ia sempat merasa putus asa dan mencoba untuk berhenti meminta keadilan atas kasus yang menimpa ayahnya. Terlintas jelas di ingatan Galuh ayahnya menghilang selama satu hari dan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah menabrak tol Cikampek.
                Ia mulai bekerja menjadi kuli di pasar-pasar demi mendapatkan ongkos ke Jakarta. Selama menjadi seorang kuli, Galuh berteman dengan bapak tua sesama kuli di pasar. Namanya Maksum, beliau selalu menceritakan betapa ironinya negeri ini, korupsi dan kemiskinan dimana-mana. Tekad Galuh menjadi semakin kuat untuk mengungkapkan kebenaran.
                Hingga tibalah harinya ia berangkat. Ariana memberikan sepucuk surat yang berisi sebuah ancaman untuknya.
                Jangan menjadi orang yang naif. Di negeri ini hanya yang kuat yang bertahan hidup. Jangan seperti ayahmu, heh asisten yang tidak tahu diri. Gajinya adalah uang korupsiku tapi malah melaporkanku. Untuk membiarkan kalian tetap hidup aku hanya menyuruhnya menghilang, bukan mati bunuh diri. Bodoh!
Tetesan air bening keluar dari mata Galuh, diremasnya kertas tersebut dan mengusap sendiri air matanya. “ Ibu, jangan pernah merasa bersalah. Apapun yang akan terjadi itu adalah pilihanku sendiri”, ucap Galuh untuk meyakinkan ibunya. Mereka saling berpelukan seakan tidak akan pernah saling bertemu lagi.
                Sekuat tenaga Galuh berjuang untuk keadilan ayahnya. Meski ia harus tinggal di kos-kosan kumuh namun ia tetap semangat. Dan berkat usahanya setidaknya ia mendapatkan setitik keadilan. Bos ayahnya tidak diizinkan menjadi hakim karena terlibat kasus bunuh diri asistennya, yang tak lain adalah ayah Galuh. Karena polisi menemukan bubuk hitam karbon monoksida di mobil ayah Galuh. Dan seseoran melapor bahwa si bos telah membeli karbon monoksida sehari sebelum kejadian tersebut.
                Dua bulan berlalu, Ariana tak mendengar kabar apapun dari putrinya. Ia hanya menerima secari kertas dari Galuh.
Ibuku Ariana tersayang, si kejam itu jangan di percaya. Ayah adalah orang yang tahu agama. Mana mungkin bunuh diri yang jelas-jelas dilarang agama. Ibu kupastikan penjahat itu membusuk di jeruji besi walau aku harus dikirim untuk menemani ayah.
                                                                                                                                                Putrimu,
                                                                                                                                       Galuh Pramanti
                Seminggu setelah mendapat kiriman dari Galuh. Ariana mendapat surat dari Kepolisian Jakarta. Bahwa pembunuh suaminya telah di hukum seberat-beratnya. Sementara putrinya menjadi korban tabrak lari dan nyawanya tak tertolong. Ia tak sedih ataupun menangis karena putrinya pasti lebih bahagia di alam sana yang tidak ada kebusukan.
Satu surat lagi,
Bukankah sudah kuperingatkan untuk menertibkan putrimu!


               

               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar